Jumat, 29 November 2013

Ciuman Selamat Malam

Setiap sore, saat aku datang bertugas sebagai perawat malam, ak menyusuri gang-gang rumah jompo (perawatan), berhenti di setiap pintu untuk bercakap-cakap samil mengamati. Seringkalitampak Kate dan Chris duduk dengan album-album besar di pangkuan mereka dan memandangi foto-foto didalamnya. Dengan bangga  Kate menunjukkan padaku foto dari tahun-tahun yang sudah lewat; Chris tinggi, pirang dan tampan; Kate cantik, berambut gelap dan ramah. Kedua sejoli muda itu tersenyum melalui musim demi musim di masa lalu. Betapa eloknya mereka, duduk bersama, cahaya dari jendela menyinari kepala mereka yang putih, wajah mereka yang keriput karena usia tersenyum memandangi tahun-tahun penuh kenangan, yang terabadikan di dalam album-album tersebut.
Betapa sedikit orang muda mengetahui tentang mencintai, pikirku. Betapa bodohnya bila pikir mereka bisa memonopoli hal berharga semacam itu. Orang tualah yang tahu apa arti sesungguhnya mencintai; orang muda hanya bisa mereka-reka.
Saat anggota staf  menyantap makan malam mereka, terkadang Kate dan Chris, sambil bergandengan tangan jalan pelan-pelan melewati pintu kamar makan. Lalu percakapan pun beralih ke diskusi tentang penyerahan diri dan cinta pasangan itu, apa yang akan terjadi seandainya salah satu dari mereka mati.  Kami tahu Chris cukup tegar sementara Kate sangat tergantung padanya.
Bagaimana keadaan kate jika seandainya Chris meninggal lebih dulu? Kami seringmengkhawatirkan hal itu.
Saat – saat pergi tidur berjalan bagaikan sebuah upacara sakral. Ketika kami membawakan obat-obatan di malam hari, Kate akan duduk dikursinya dengan gaun malam dan sandal, menunggu kedatanganku. Dibawah pengawasan mataku dan Chris, Kate akan menelan pilnya. Lalu dengan hati-hati Chris membantunya beranjak dari kursi menuju ke tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya yang rapuh dengan pelan-pelan.
Memandang tindakan kasih semacam itu, aku berpikir untuk yang keseribu kalinya, Ya Tuhan, mengapa rumah-rumah jompo tak memiliki tem,pat tidur ganda untuk pasangan –pasangan yang sudah menikah? Sepanjang hidup mereka, mereka telah tidur bersama, tetapi di rumah jompo, mereka harus tidur di tempat tidur sendirian. Sepanjang malammereka direnggut dari sebuah rasa nyaman kehidupan.
Betapa bodohnya kebijakan semacam itu, pikirku sewaktu mengamati Chris menggapai dan mematikan lampu diatas tempat tidur Kate. Kemudian dengan lembt ia akan membungkuk, lalu mereka saling berciuman denga lembutnya. Chris menepuk pipi Kate dan mereka berdua pun tersenyum. Ia akan menegakkan pembatas sisi tempat tidur kekasihnya, dan baru setelah itu ia berbalik dan mengambil obat-obatannya sendiri. Sewaktu aku berjalan menuju gang, aku dapat mendengar Chris berkata :”Selamat malam, Kate,” dan Kate membalas,” Selamat malam Chris,” diantara ruang kosong didalam kamar yang memisahkan kedua tempat tidur mereka.
Aku mendapat cuti tugas 2 hari. Ketika ak kembali berita pertama yng kudengar ketika berjalan menuju pintu rumah jompo adalah,” Chris meninggal dunia kemarin pagi.”
“Kenapa?”
“Terkena serangan jantung yang hebat. Terjadinya begitu cepat.”
“Bagaimana Kate?”
“Sangat terpukul dan murung.”
Aku menuju kamar Kate. Dia duduk di kursinya, tak bergrak, dengan tangan di pangkuannya, membelalak. Sambil meraih tanganya dan mendekapnya, aku berkata, “Kate, ini Phyllis.” Matanya tak bergerak, Ia hanya membelalak. Aku menaruh tanganku dibawah daunya dan perlahan mengalihkan kepalanya sehingga ia melihatku. “Kate, aku baru saja tahu tentang Chris. Aku ikut berduka.”
Mendengar kata “Chris”, matanya kembali hidup. Dia memandangku penuh rasa heran, seakan-akan takjub bagaimana aku bisa mendadak muncul. “Kate, ini aku Phyllis. Aku ikut sedih mengenai Chris.”
Kesadaran dan kenangan membanjiri wajahnya. Air mata mengaliri pipinya yang keriput,” Chris telah pergi,” bisiknya.
“aku tahu,” kataku,” aku tahu.”
Kami memanjakan Kate untuk sementara, membiarkan ia makan dikamarnya, memberinya perhatian khusus. Kemudian secara perlahan para staf memperlakukan dia kembali ke jadwal semula. Seringkali, ketika aku melewati kamarnya ak memperhatikan Kate duduk di kursinya, memangku buku albumnya, memandang foto-foto Chris dengan sedih.
Saat tidur merupakan bagian terburuk dari seluruh hari. Meskipun telah mendapatkan izin sesuai permintaannya, pindah dari tempat tidurnya ke tempat tidur Chris, dan walaupun para staf mengajaknya ngobrol dan tertawa menyertai dia menuju malam, Kate tetap diam danmenarik diri dalam kesedihan. Saat melewati kamarnya sejam setelah dibawa masuk, aku menemukan ia masih sadar sepenuhnya, memandang ke langit-langit.
Beberapa pekan telah berlalu dan saat tidur tak menjadi lebih baik. Kate tampaknya kurang istirahat, sangat tak nyaman. Mengapa? Aku bertanya. Mengapa saat itu terasa sangat lain dari sekian jam lainnya?
Kemudian suatu malam, ketika aku berjalan menuju kamarnya dan menemukan Kate seperti biasanya, aku spontan bertanya,” Kate, apakah kamu merindukan ciuman selamat malammu?” sambil membungkuk, aku mencium pipinya yang keriput.
Aku seakan-akan membuka pintu air. Air mata mengucur di wajahnya, tangannya menggenggam tanganku. “Chris selalu memberikan ciuman perpisahan,” ratapnya.
“Aku tahu.” Bisikku
“aku begitu merindukannya, bertahun-tahun ia selalu memberikan padaku ciuman selamat malam.”
Dia mendongak memandangku, matanya menyinarkan ucapan terima kasih,”Oh, terima kasih karena memberiku sebuah ciuman.”
Seulas senyum tipis muncul di sudut mulut Kate. “Kamu tahu,” katanya penuh keyakinan,” Chris biasanya menyanyikan sebuah lagu untukku.”
“Masa?”
“Ya,” kepalanya yang penuh uban mengangguk,” dan pada saat aku terbaring malam hari disini aku mengenangnya.”
“Dia menyanyikan lagu apa?”
Kate tersenyum, meraih tanganku dan membersihkan kerongkongan. Kemudian suaranya yang lemah oleh usia tapi masih merdu, terdengar dalam alunan lembut:
Maka ciumlah aku, manisku, dan biarkan kita berpisah. Dan ketika aku terlalu tua untuk bermimpi, ciuman itu akan hidup di dalam hatiku.


Sumber: Buku Chicken Soup For The Woman Soul (Phyllis Volkens)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar